Minggu, 31 Januari 2016

KISAH NYATA

KISAH NYATA...Saat Dilamar, Anak Gadisnya Ternyata Sudah Tak Suci Lagi...
‪#‎PHP‬(perawanhampirpunah)
Seorang pemuda yang komitmen beragama maju untuk menikah. Dia mulai mencari calon pasangan perempuan. Syarat satu-satunya adalah agar dia seorang wanita yang komitmen, berakhlak, dan kuat agama. Dan setelah melalui pencarian, kini dia telah menemukan gadis tersebut, sebagaimana ciri-ciri yang diinginkan.
Setelah melamar, dan ketika ia telah bersiap-siap untuk menikah, tiba-tiba calon mempelai perempuan menolak dan mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah. Keluarganya terheran melihat keputusannya yang mengagetkan, setelah sebelumnya memberikan kesanggupan. Pemuda itu meminta sang gadis untuk menjelaskan penolakannya, namun justru ia membawakan alasan-alasan yang lemah. Setelah itu, perkaranya ditangani oleh ibunya yang merasa sangat sedih dengan keputusan ini. Terlebih, pemuda itu terkenal dengan bagus akhlak dan budi pekertinya.
Setelah sang ibu mendesaknya, dia (calon mempelai perempuan tersebut) berkata kepada ibunya, “Sesungguhnya Allah Maha menutupi (dosa hamba-hamba-Nya), dan Dia telah menutupiku. Tinggalkanlah aku dan urusanku…” Di hadapan desakan sang ibu yang sangat bingung dengan perkara itu, dia berterus terang kepada sang ibu bahwa dirinya telah kehilangan kehormatannya, namun dia telah bertaubat. Dan bahwa peristiwa itulah yang menyebabkan sikap komitmennya terhadap agamanya, sekaligus sebab penolakannya untuk menikah. Ia meminta ibunya agar merahasiakan perkara itu, dan bahwa ia akan menebus sebab kesalahannya. Ibunya memikirkan perkara itu dan berkata, “Putriku! Selama kamu telah bertaubat kepada Allah, sedang Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya dan memaafkan banyak dosa, maka biarkan aku meminta pendapat pemuda itu, barangkali ia akan menerima atau menutupinya…”
Setelah melalui musyawarah dan diskusi yang panjang, gadis itu pun menerima usulan itu. Sang ibu pun pergi, tidak tahu entah bagaimana akan membuka berita buruk ini kepada sang calon pengantin. Setelah sempat bimbang, tidak lama kemudian ia meminta supaya pemuda itu menemuinya.
Ketika pemuda itu datang, ia membuka permasalahan itu kepadanya dan meminta pendapatnya. Ia menceritakan bahwa putrinya menjadi komitmen terhadap agama setelah perbuatan itu dan telah bertaubat kepada Allah, inilah sebab penolakannya untuk menikah…
Pemuda itu berpikir sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya sepakat untuk menikah dengannya selama ia telah bertaubat dan kembali kepada Allah dan istiqamah. Dahulu sebelum komitmenku terhadap agama, aku sendiri berada dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Sementara kita tidak tahu siapakah yang diterima taubatnya di sisi Allah.”
Wajah sang ibu itu berseri mendengar berita gembira ini dan segera pergi menemui putrinya dengan penuh suka cita, dan dalam waktu yang bersamaan ia merasa takjub dengan sikap ksatria dan keputusan baik pemuda itu, lalu memberitahukan kabar gembira itu kepada putrinya. Dan pernikahan pun terlaksana.
Ketika bertemu, sang wanita banyak menangis. Sementara bahasa isyaratnya mengatakan, “Betapa engkau laki-laki cerdas. Aku akan menjadi istri yang taat bagimu.” Dan Allah pun mempertemukan mereka berdua dengan kebaikan.
Sumber: 90 Kisah Malam Pertama karya Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta, alsofwah.or.id

Sabtu, 16 Januari 2016

💌 Mengabadikan Diri
Setiap orang menginginkan keabadian. Sadar atau tidak, kita tidak ingin melepaskan apa yang pernah kita miliki. Nikmat misalnya, kita tak akan pernah merasa memiliki sampai benar-benar nikmat itu pergi.
Ada yang mengabadikan dirinya lewat jepretan foto selfiannya. Adapula dengan popularitas, menyangka bahwa setelah nanti masih ada pemujinya. Ada dengan harta, sedari sekarang terus berderma membangun citra. Ada dengan kekuasaan, sehingga setiap peresmianbenda negara selalu tertulis nama dan tanda tangannya.
Tapi semua itu semu. Kekayaan akan kadaluarsa. Jabatan segera pensiun. Bangunan-bangunan itu diruntuh waktu. Para penulis sejarah lupa lantaran kepentingan. Keabadian bukan disitu. Justru kami berfikir keabadian ada pada niat.
“Apa yang hanya karena Allah itulah yang akan abadi” sebut Imam Malik.
Bahwa kuburan orang-orang hebat bukanlah di taman makam pahlawan. Atau di museum jantung Kota. Tugu Nasional apalagi.
“Ada di hati dan lisan para manusia.”
Aku ingin mengabadikan hati bersamamu yaa Rabb. Menjadi niat yang selalu dihidupkan. Menjadi barisan kata yang selalu diamalkan, BAPER misalnya, Barisan Para Pengikut Rasu yang Menjadi amal yang akan terus membersamai. sekalipun sudah tiada nantinya.
“Semoga Allah selalu menjadi yang pertama. Bahwa niat menjadi tujuan. Sementara perjuangan adalah jalan.”
*Msc
والله أعلمُ بالـصـواب

Kamis, 07 Januari 2016

Kisah Uwais al - Qarni

Kisah Uwais Al Qarni dan Baktinya pada Orang Tua

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




Kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni ini patut diambil faedah dan pelajaran. Terutama ia punya amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak orang yang meminta doa kebaikan melalui perantaranya. Apalagi yang menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh hari.
Kisahnya adalah berawal dari pertemuaannya dengan ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ . قَالَ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ نَعَمْ.
قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ
Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”
Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”
Uwais menjawab, “Iya.”
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”
Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.
Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.
Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”
Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”
قَالَ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ قَالَ تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ».
Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.
فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ فَاسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ لَقِيتَ عُمَرَ قَالَ نَعَمْ. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ
Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”
Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.
فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ فَانْطَلَقَ عَلَى وَجْهِهِ
“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)

Faedah dari kisah Uwais Al Qarni di atas:

1- Kisah Uwais menunjukkan mu’jizat yang benar-benar nampak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin ‘Amir. Dia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah bagian dari Murad.
2- Kita dapat ambil pelajaran –kata Imam Nawawi- bahwa Uwais adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia.
Maksud di atas ditunjukkan dalam riwayat lain,
أَنَّ أَهْلَ الْكُوفَةِ وَفَدُوا إِلَى عُمَرَ وَفِيهِمْ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يَسْخَرُ بِأُوَيْسٍ
“Penduduk Kufah ada yang menemui ‘Umar. Ketika itu ada seseorang yang meremehkan atau merendahkan Uwais.”
Dari sini berarti kemuliaan Uwais banyak tidak diketahui oleh orang lain sehingga mereka sering merendahkannya.
3- Keistimewaan atau manaqib dari Uwais nampak dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Umar untuk meminta do’a dari Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk memberikan ampunan padanya.
4- Dianjurkan untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.
5- Boleh orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang kedudukannya lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat tentu lebih mulia, diperintahkan untuk meminta do’a pada Uwais –seorang tabi’in- yang kedudukannya lebih rendah.
6- Uwais adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash dalam riwayat lainnya, dari ‘Umar bin Al Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang pria yang bernama . Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya ada putih-putih). Perintahkanlah padanya untuk meminta ampun untuk kalian.” (HR. Muslim no. 2542). Ini secara tegas menunjukkan bahwa Uwais adalah tabi’in yang terbaik.
Ada juga yang menyatakan seperti Imam Ahmad dan ulama lainnya bahwa yang terbaik dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin Al Musayyib. Yang dimaksud adalah baik dalam hal keunggulannya dalam ilmu syari’at seperti keunggulannya dalam tafsir, hadits, fikih, dan bukan maksudnya terbaik di sisi Allah seperti pada Uwais. Penyebutan ini pun termasuk mukjizat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7- Menjadi orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama. Lihatlah Uwais, ia sampai mengatakan pada ‘Umar,
أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
“Aku menjadi orang-orang lemah, itu lebih aku sukai.” Maksud perkataan ini adalah Uwais lebih senang menjadi orang-orang lemah, menjadi fakir miskian, keadaan yang tidak tenar itu lebih ia sukai. Jadi Uwais lebih suka hidup biasa-biasa saja (tidak tenar) dan ia berusaha untuk menyembunyikan keadaan dirinya. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
8- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti pada orang tua terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk qurobat (ibadah) yang utama.
9- Keadaan Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup terasing dari orang-orang.
10- Pelajaran sifat tawadhu’ yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.
11- Doa orang selepas bepergian dari safar yang baik seperti haji adalah doa yang mustajab. Sekaligus menunjukkan keutamaan safar yang shalih (safar ibadah).
12- Penilaian manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga mudah merendahkan orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari keadaan iman dan takwa dalam hati.
Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.

KISAH UWAIS AL-QORNI

Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah”[2]

Berikut ini kami menyampaikan sebuah hadits yang berkaitan dengan kisah Uwais Al-Qoroni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalah shahihnya[3]. Namun agar kisahnya lebih jelas dan gamblang maka dalam riwayat Imam Muslim ini kami menyelipkan riwayat-riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, Abu Ya’la dan Ibnul Mubarok dalam kedua musnad mereka.
Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob, jika datang kepadanya amdad dari negeri Yaman maka Umar bertanya mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit baros (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. ((Pada riwayat Abu Ya’la[5]: Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.” Umar berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya aka ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”)) Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!” ((Dalam suatu riwayat Al-Hakim[6] : “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”)), lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

((Dalam riwayat Al-Hakim[7] : Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qoroni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”))

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka[8] dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta” ((Dalam riwayat Ibnul Mubarok[9] : orang itu berkata “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais”)). Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Orang itu menjawab, “Iya”. ((Dalam riwayat Al-Hakim[10] : Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini, janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga)) Maka Uwaispun memohon ampunan bagi orang itu. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[11]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[12]
Salah seorang syaikh[1] pernah shalat di mesjid sebuah kampung yang terkenal dengan keberadaan sebagian para penuntut ilmu yang masyhur dengan keilmuan mereka. Seusai shalat syaikh tersebut menjumpai salah seorang jamaah shalat yang sudah berusia lanjut dan bertanya kepadanya tentang perihal para penuntut ilmu yang terkenal yang berasal dari  kampung tersebut. Namun apa kata orang tua itu: “Mereka bukan penuntut ilmu, mereka sering meninggalkan shalat berjamaah terutama shalat shubuh”. Serentak syaikh kaget dengan jawaban tersebut.

Fenomena yang seperti ini mungkin bukanlah hal yang asing bagi kita, apalagi di Jami’ah Islamiah ini kampus yang kita cintai bersama, kita dapati ada sebagian mahasiswa yang  kelak mereka akan menjadi da’i di negeri mereka sangat menyepelekan nilai shalat berjamaah terutama shalat shubuh. Jarang sekali mereka menampakkan batang hidungnya di mesjid untuk shalat shubuh.Sungguh sangat tercela jika seorang penuntut ilmu yang seharusnya menyeru masyarakat untuk semangat menunaikan shalat berjamaah, yang seharusnya memberi suri tauladan untuk shalat secara berjamaah malah kebiasaannya tidak shalat shubuh berjamaah. Wajar saja jika masyarakat tidak memenuhi dakwahnya karena mereka melihat praktek sang da’i yang menyepelekan shalat berjamaah.

Kalau kita buka lembaran-lembaran salaf tentang bagaimana semangat mereka untuk menunaikan ibadah shalat berjamaah maka kita akan menemui keajaiban…
Waqi’ bin Al-Jarrah berkata: “Al-A’masy (salah seorang muhaddits yang rabun matanya-pen) hampir tujuh puluh tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihram” (As-Siyar 6/232).
Berkata Muhammad bin Sama’ah: “Aku tinggal selama empat puluh tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihram kecuali satu hari tatkala ibuku meninggal. Maka aku terluput dari satu shalat jamaah…” (Tahdzibut Tahdzib 9/204)
Pada biografi Sa’id bin Al-Musayyib disebutkan bahwasanya tidaklah pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id telah berada di mesjid. (Tahdzibut Tahdzib 4/87)
Berkata Al-Qadhi Taqiyyuddin Sulaiman: “Aku sama sekali tidak pernah shalat wajib sendirian kecuali dua kali, seakan akan aku sama sekali belum shalat” (Dzail thabaqat Al-Hanabilah 2/365)
Bahkan lebih dari ini, para salaf menjadikan sifat menjaga shalat secara berjamaah dan mempraktekan shalat sesuai sunnah termasuk timbangan untuk menilai seseorang.
Berkata Ibrohim bin Yazid: “Jika engkau melihat seseorang menyepelekan (tidak perhatian) terhadap takbiratul ihram maka cucilah tanganmu darinya” (As-Siyar 5/62)
Berkata Syu’bah bin Al-Hajjaj: “Saya melihatnya –yaitu Yahya bin “Ubaidillah At-Taimi- shalatnya tidak bagus maka saya tinggalkan haditsnya” (Tahdzibut Tahdzib 11/253, Mizanul I’tidal 4/395)
Berkata Adz-Dzahabi –setelah membawakan dua isnad dari sebuah hadits yang teksnya sebagai berikut (dan pada dua isnad ini ada sisi lemahnya yang bersumber dari Zahir dan ‘Umar, karena mereka berdua shalatnya kurang bagus)-, kemudian Adz-Dzahabi berkata –dengan penuh tawadhu’-: “Kalau saya memiliki sifat wara’ maka saya tidak akan meriwayatkan (hadits) kepada orang yang sifatnya demikian” (As-Siar 10/317) 
Bagaimanapun juga bersegera untuk datang ke masjid untuk menunaikan shalat secara berjamaah akan memberi pengaruh yang kuat terhadap masyarakat. Karena memberi teladan dengan praktek terkadang lebih mengena dari pada dengan penjelasan yang mantap. Kalau kita tidak membiasakan diri untuk melawan ngantuk sehingga selalu shalat shubuh berjamaah sejak kita di Jami’ah tentunya tatkala kita sudah terjun di medan dakwah akan sulit kita praktekkan. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk bisa selalu shalat shubuh secara berjamaah. Amin.

[1] Syaikh Abdurrazaq mengatakan –setelah menyampaikan kisah ini-: “Seanda’inya para penuntut ilmu yang tidak shalat shubuh berjamaah itu ditanya tentang keutamaan shalat shubuh berjamaah, maka mungkin mereka akan mendatangjkan puluhan dalil yang menjelaskan akan hal itu. Namun walaupun hal ini tidak menjadikan mereka bisa shalat shubuh secara berjamaah. Adapun orang tua yang awam itu jika ditanya dalil tentang keutamaan shalat shubuh secara berjamaah mungkin saja dia tidak tahu sama sekali. Namun ketidaktahuannya ini tidaklah mencegah dia untuk shalat shubuh berjamaah”.
Sebagian orang tatkala berada dihadapan orang lain maka ia mampu dengan mudahnya meninggalkan kemaksiatan, bahkan ia mampu untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ia mampu melaksanakan itu semua meskipun ia berada di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tenggelam dalam lautan kemaksiatan. Ini adalah suatu kemuliaan karena ia bisa menghadapi ujian dengan baik sehingga terhindar dari kemaksiatan. Namun ingat sesungguhnya bukan ini ujian yang sebenarnya.


Allah telah melarang para hambanya untuk bermaksiat kepadanya baik secara terang-terangan atau tatkala ia bersendirian tatkala tidak ada orang lain yang melihatnya. Seseorang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan dihadapan khalayak tentunya berbeda dengan orang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan tatkala ia bersendirian.

Sesungguhnya ujian yang hakiki adalah ujian yang dihadapi seorang hamba tatkala ia sedang bersendirian kemudian tersedia dihadapannya sarana dan prasarana serta kemudahan baginya untuk melakukan kemaksiatan, apakah ia mampu mencegah dirinya dari kemaksiatan tersebut??. Inilah ujian yang hakiki, ujian yang sangat berat, beruntunglah bagi mereka yang bisa selamat dari ujian ini.

Ketahuliah…, orang yang mampu menghindarkan dirinya dari kemaksiatan tatkala dihadapan orang lain namun ia terjerumus dalam kemaksiatan tatkala ia sedang bersendirian merupakan orang yang tercela.

Rasulullah salallah wa’alaihi wasallam pernah bersabda

لألفين أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة فيجعلها الله هباء منثورا فقالوا يا رسول الله صفهم لنا لكي لا نكون منهم ونحن لا نعلم فقال أما إنهم من إخوانكم ولكنهم أقوام إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها


“Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak seperti[1] bukit Tihamah kemudian Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan.” Maka mereka -sahabat- bertanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah ciri mereka kepada kami agar kami tidak termasuk golongan mereka dalam keadaan tidak sadar.” Maka beliau menjawab, “Adapun, mereka itu adalah saudara-saudara kalian, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang apabila bersepi-sepi dengan apa yang diharamkan Allah maka mereka pun menerjangnya.”

Allah telah menguji orang-orang yahudi dengan ikan,
Allah berfirman


}وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ| (لأعراف:163)


“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik”. (QS. 7:163)

Lihatlah…Allah memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk melakukan kemaksiatan. Namun mereka (orang-orang Yahudi) tersebut tidak sabar dengan ujian Allah padahal mereka yakin bahwa Allah mengawasi gerak-gerik mereka, oleh karena itu mereka tidak melanggar perintah Allah secara langsung tetapi mereka melakukan hilah yang akhirnya Allah merubah mereka menjadi kera-kera yang hina.

Allahpun telah menguji para sahabat Nabi, Allah berfirman

}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ| (المائدة:94)


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih” (Al-Maidah : 94)

Dari Muqotil bin Hayyan, bahwasanya ayat ini turun tatkala umroh Hudaibiyah, tatkala itu muncul banyak sekali zebra, burung, dan hewan-hewan buruan yang lain di tengah perjalanan para sahabat (yang sedang dalam keadaan berihram umroh), mereka tidak pernah menjumpai yang seperti ini sebelumnya, namun Allah melarang mereka untuk berburu hewan-hewan tersebut.[2] Sampai-sampai saking terlalu jinaknya hewan-hewan tersebut maka mereka bisa mengambil langsung hewan-hewan buruan yang kecil dengan tangan-tangan mereka, adapun hewan-hewan buruan yang besar maka mereka bisa dengan mudah menombaknya[3]

Dalam ayat ini | لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ } Allah menta’kid (menekankan) dengan sumpah[4] untuk menunjukan bahwa apa yang sedang mereka hadapi berupa jinaknya hewan-hewan buruan, tidaklah Allah menjadikan hewan-hewan tersebut jinak kecuali karena untuk menguji mereka.[5]

Adapun nakiroh pada kalimat | بِشَيْءٍ } menunjukan bahwa cobaan yang Allah turunkan pada mereka bukanlah cobaan yang sangat mengerikan yang menyebabkan terbunuhnya nyawa dan rusaknya harta benda, namun cobaan yang Allah berikan kepada para sahabat pada ayat ini adalah semisal cobaan yang Allah berikan kepada penduduk negeri Ailah (orang-orang yahudi) berupa ikan-ikan yang banyak mengapung di permukaan laut namun Allah melarang mereka untuk menangkapnya[6]. Dan faedah dari cobaan yang tergolong “ringan” ini adalah untuk mengingatkan mereka bahwa barangsiapa yang tidak bisa tegar menghadapi seperti cobaan ini maka bagaimana ia bisa tegar jika menghadapi cobaan yang sangat berat. Oleh karena itu huruf | مِنَ } dalam ayat ini | مِنَ الصَّيْدِ } ini jelas adalah bayaniah dan bukan tab’idhiyah.[7]

Jika seorang hamba merasakan bahwa dirinya dimudahkan untuk melakukan kemaksiatan, jalan-jalan menuju kemaksiatan terbuka lapang baginya maka ketahuilah bahwa ia sedang diuji oleh Allah…ingatlah bahwa Allah yang sedang mengujinya juga sedang mengawasinya, maka takutlah ia kepada Allah. Inilah ujian yang hakiki, dan Allah akan memberikan ganjaran yang besar baginya karena kekuatan imannya. Barangsiapa yang meninggalkan kemaksiatan padahal sangat mudah baginya untuk melakukannya maka ketahuilah bahwa itu adalah kabar gembira baginya karena hal itu merupakan indikasi imannya yang kuat. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dalam keadaan bersendirian maka ketahuliah bahwa imannya ternyata lemah, dan hendaknya ia takut kepada adzab yang Allah janjikan kepada orang-orang yang melanggar perintahNya.

Oleh karena itu di akhir ayat Allah berfirman | لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ }, inilah hikmah dari ujian yang Allah berikan kepada para sahabat yang sebagian mereka bisa saja mengambil hewan-hewan buruan tersebut dengan mudahnya baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dengan ujian ini akan nampak siapakah dari hamba-hamba Allah yang takut dan bertakwa kepada Allah baik secara terang-terangan maupun tatkala bersendirian.

Hal ini sebagaimana firman Allah

}إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ| (الملك:12(


“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”. (QS. 67:12)[8]

Ujian yang diberikan oleh Allah agar terbedakan hamba Allah yang karena keimanannya yang kuat maka takut kepada adzab Allah di akhirat yang meyakini bahwasanya Allah senantiasa mengawasinya meskipun ia tidak melihatNya, agar terbedakan dari hamba yang lemah imannya sehingga berani melanggar perintah Allah…[9], sehingga Allah memberinya ganjaran yang besar…adapun menampakan rasa takut kepada Allah dihadapan khalayak maka bisa jadi ia melakukannya karena takut kepada Allah maka ia tidak mendapatkan ganjaran…[10].

Penulis: Ustadz Firanda Andirja Abidin, Lc. -hafizhahullah-

____

Catatan Kaki

[1] HR Ibnu Majah II/1418 no 4245 dan At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Ash-Shogir I/396 no 662 (dan ini adalah lafalnya) dan Al-Mu’jam Al-Awshoth V/46 no 4632. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Sunan Ibnu Majah, dan As-Shahihah II/32 no 505

[2] Ad-Dur Al-Mantsur, karya As-Suyuthi (3/185)

[3] Tafsir Ibnu Katsir (2/98)

[4] Karena huruf lam dalam ayat ini adalh Al-Lam Al-Waqi’ah lijawabil qosam

[5] Tafsir Abi As-Sa’ud (3/78)

[6] Lihat juga Fathul Qodir (2/77), At-Tafsir Al-Kabir (12/71)

[7] Tafsir Abi As-Sa’ud (3/78), Tafsir As-Sa’di (1/244), karena jika kita mengatakan bahwa مِن dalam ayat ini adalah tab’idhyah (sebagaimana hal ini adalah pendapat yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/98)) maka sesuatu yang ringan yang difahami dari kalimat بِشَيْءٍ bukanlah jika dibandingkan dengan cobaan-cobaan yang berat namun jika dibandingkan dengan seluruh hewan

[8] Tafsir Ibnu Katsir (2/99)

[9] Tafsir Abi As-Saud (3/78)

[10] Tafsir As-Sa’di (1/244)

Rabu, 06 Januari 2016

Hadits Imam Bukhori Nomor 6019

(Hadits 49 Kitabul Adab shahih Bukhari)
Hadits Imam Bukhori Nomor 6019
عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ رضي الله عنه قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ »
Dari Abu Syuraih Al ‘Adawi radhiyallohu anhu dia berkata; “Saya telah mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan sabdanya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya, dan menjamunya secara sempurna” dia bertanya; ‘Apa yang dimaksud dengan menjamunya secara sempurna wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “yaitu selama satu hari satu malam, kewajiban menjamu tamu itu selama tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah bagi tamu tersebut.” Dan beliau bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata dengan baik atau diam.”
Kesimpulan dan Pelajaran:
1. Bolehnya seorang da’i atau pengajar menyebutkan tentang pemahaman dan penguasaannya yang baik terhadap ilmu yang akan disampaikannya guna meyakinkan para pendengarnya
2. Diantara indra yang sangat perlu difungsikan dengan baik pada saat menuntut ilmu adalah pendengaran dan penglihatan
3. Pentingnya iman kepada Allah dan hari akhir. Dikhususkan penyebutan kedua rukun iman ini karena iman kepada Allah adalah dasar untuk beramal dan hari akhir adalah tujuan akhir yang akan kita tuju untuk mempertanggungjawabkan seluruh amalan kita
4. Korelasi antara iman/aqidah dan akhlak, dimana aqidah yang benar akan melahirkan akhlak yang mulia dan akhlak yang mulia harus didasari dengan aqidah yang benar
5. Haramnya menyakiti tetangga, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan
6. Perintah untuk memuliakan tamu, baik dengan menjamunya berupa makanan ataupun yang lainnya
7. Kewajiban untuk menjamu tamu hanya selama 3 hari, lebih dari itu maka berupa sedekah dan tidak termasuk kewajiban
8. Hari pertama seharusnya tamu mendapatkan pelayanan dan perjamuan sebaik mungkin dari tuan rumah
9. Kewajiban menjaga lisan
10. Berkata yang baik lebih didahulukan dari diam, namun siapa yang tidak mampu mengatakan kebaikan maka hendaknya dia memilih untuk diam
Penulis: Ustadz Muhammad Yusran Anshor Lc, MA -Hafidzahullah-
Artikel www.belajarislamintensif.com

Pemberitaan Wahdah Islamiyah Menuai Simpatik Ummat

Pemberitaan Wahdah Islamiyah Menuai Simpatik Ummat

Makassar, AMANAH — Simpatik masyarakat terhadap Wahdah Islamiyah meningkat drastis buntut pemberitaan miring stasiun televisi Metro TV. 
Terbukti dengan munculnya petisi penggalangan dukungan yang bertujuan mengadukan Metro TV ke Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Petisi ini pun sudah disetujui dan ditandatangani banyak orang.


Selain itu, pemberitaan alharamnews.com atas tuduhan Metro TV kepada Wahdah Islamiyah, setiap berita yang diposting, hanya berselang bebarapa jam mampu diakses puluhan ribu pembaca di jagat maya. 
“Ini menandakan bahwa pemberitaan Wahdah Islamiyah mengundang simpatik ummat. Ada perasaan turut bersedih dari ummat atas fitnah tersebut. Sebab, yang selama ini kita ketahui bersama dakwah Wahdah Islamiyah sangat santun,” kata Pemimpin Redaksi alHARAM Media Group, Firmansyah Lafiri, kepada awak redaksi harian Amanah, Rabu (6/1) malam tadi.
Organisasi Wahdah Islamiyah sudah berulang kali dilanda fitnah, namun sedari awal, jajaran petinggi ormas ini selalu menyerukan kepada jamaahnya untuk tetap bersikap santun, tidak reaktif dan emosional. 
Merespons pemberitaan Metro TV, Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, DR Rahmat Abdul Rahmat, Lc MA sendiri yang meminta kepada seluruh jamaah Wahdah Islamiyah agar tidak membalas dengan caci maki, seperti memplesetkan nama institusi atau menyerang person perusahaan yang bersangkutan. Alhasil, sikap kompak ditunjukkan organisasi yang telah memiliki cabang di sejumlah kota besar di Indonesia ini, dengan tidak adanya aksi yang tak patut dicontoh.
Editor: Irfan Abu Faiz

TAK BERSAJAK - Uwais al - Qorni

TAK BERSAJAK
Kita tak pernah tau betapa berharganya kepingan hari bahkan detik bagi seseorang yang di vonis hidup tak lama lagi.
Saat itu kita menyadari bahwa tak ada yang lebih berharga dari usia manusia.
Kematian itu indah, andai kita tau kemana arahnya.
Saat seseorang mulai menjauh...
Jangan bertanya mengapa ia memilih sepi disaat semua ingin meramaikan harinya.
Jangan bertanya mengapa ia kuat dalam sunyi.
Adakalanya ia menjauh..
Bukan karena benci..
Hanya saja.. Agar perpisahan tak terlalu menyakitkan.
Biarkan ia menjauh..
Karena ada damai dalam mazhab sunyi.
_______________

Radikalisme Sebab Dan Terapinya

RADIKALISME SEBAB DAN TERAPINYA

Oleh
Ustadz Dr Ali Musri Semjan Putra, MA


LATAR BELAKANG
Banyak hal yang melatar belakangi penulisan topik ini, diantaranya adalah:
1. Semakin maraknya tindakan radikal di tengah-tengah masyarakat, yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan, baik dari kalangan tokoh masyarakat, pemerintah dan secara khusus para tokoh agama. 

2. Terdapat kesalahpahaman di tengah sebagian masyarakat dalam menyikapi tindakan radikalisme, dimana mereka berasumsi bahwa tindakan radikal hanya dilakukan oleh orang yang fanatik dalam beragama. 

3. Terdapat sebagian pihak yang memanfaat isu radikalisme untuk menghambat laju perjalanan dakwah sunnah di bumi nusantra ini. Dan menyebarkan informasi yang menyesatkan di media masa bahwa radikalisme disebabkan oleh kepanatikan terhadap ajaran Islam.

TUJUAN BAHASAN
1. Sebagai betuk peran aktif kita dalam mencarikan solusi terbaik terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa dan umat dewasa ini. 

2. Sebagai kewajiban bagi seorang Muslim untuk menepis berbagai tuduhan negatif terhadap ajaran Islam yang mulia secara umum dan terhadap dakwah Ahlusunnah secara khusus.

3. Sebagai untaian nasehat kepada umat, agar memeliki sikap waspada terhadap berbagai isu dan pemikiran yang memojokkan Islam. Sekaligus sebagai untaian nasehat kepada sebagian aktifis dakwah yang menyelisihi manhaj salaf dalam menyampaikan dakwah.

DEFINISI RADIKALISME
Sepanjang yang kita baca dari referensi-referensi yang ada, belum kita temukan bahwa radikalisme tertuju pada suatu ajaran agama, apalagi ditujukan secara khusus kepada Islam. Akan tetapi kebanyakan definisi mengkaitkannya dengan politik. Berikut ini kita nukilkan tentang pengertian Radikalisme:

“Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti "akar") adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu "radikalisme" historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif”[1] .

Melalui penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa asal muasal tindakan radikal muncul dari salah satu aliran politik bukan dari ajaran agama tertentu. Dengan kata lain dapat pula kita nyatakan bahwa gerakan radikal tidak bersumber dari ajaran agama. Namun bisa saja terjadi kesalah pahaman dalam agama menimbulkan gerakan radikal. 

Kebiasan dalam stigma Radikalisme, suatu kelompok akan menuduh kelompok lain sebagai kelompok radikal, belum ada standar yang jelas dalam penilaian kapan suatu kelompok atau pribadi tertentu disebut sebagai orang atau kelompok yang berpaham radikal. Selama ini wewenang penilaian selalu diserahkan pada presepsi media masa atau pengaruh kekuatan politik. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan membaca sejarah radikalisme dari masa ke masa.

“Namun perlu kita ketahui bahwa tuduhan radikalisme untuk umat Islam baru dikenal beberapa tahun belakangan ini. Diawali sejak perang dingin antara dua negara adikuasa berakhir, setelah kalahnya adikuasa Uni sovyet dalam melawan Afganistan. Lalu negara-negara Islam yang barada dalam cengkraman negara tersebut berusaha melepaskan diri. Kemudian lebih mengemuka lagi setelah kejadian 11 september di Amerika Serikat th 2001.

Akan tetapi suatu hal yang sangat mengherankan sekaligus memalukan adanya pernyataan dari salah seorang yang dianggap sebagai tokoh Islam bahwa ciri kelompok Radikalisme adalah jenggotan, celana cingkrang dan selalu membawa mushaf kecil. Hal ini menunjukkan keterbelakangan tokoh tersebut dalam segi informasi dan pemikiran apa lagi tentang pemahaman ajaran agama. Pernyataan tersebut disamping tidak sesuai dengan fakta juga terselip bentuk kebencian terhadap umat Islam yang berusaha menjalan agamanya sesuai dengan yang diperintahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2] 

SEJARAH RADIKALISME
Dalam wikipedia disebutkan: “Menurut Encyclopædia Britannica, kata "radikal" dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan "reformasi radikal" sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen.”[3] 

Radikalisme dapat mengacu kepada beberapa hal berikut:
Ekstremisme, dalam politik berarti tergolong kepada kelompok-kelompok radikal kiri, Ekstrem kiri atau Ekstrem kanan.

Radikalisasi, transformasi dari sikap pasif atau aktivisme kepada sikap yang lebih radikal, revolusioner, ekstrem, atau militan. Sementara istilah "Radikal" biasanya dihubungkan dengan gerakan-gerakan ekstrem kiri, "Radikalisasi" tidak membuat perbedaan seperti itu.

Dalam pengertian khusus:
Radikalisme (historis), sebuah kelompok atau gerakan politik yang kendur dengan tujuan mencapai kemerdekaan atau pembaruan electoral yang mencakup mereka yang berusaha mencapai republikanisme, penghapusan gelar, redistribusi hak milik dan kebebasan pers, dan dihubungkan dengan perkembangan liberalisme.

Partai Radikal - sejumlah organisasi politik yang menyebut dirinya Partai Radikal, atau menggunakan kata Radikal sebagai bagian dari namanya[4] .
Dalam kenyataan sejarah pihak yang berkuasa atau pihak yang tidak mau kekuatannya dilemahkan selalu menuduh pihak yang lemah sebagai kaum radikal. Sedangkan sikap radikal mereka terhadap orang lain tidak dinilai sebagai tindakan radikal.

Radikalisme sudah mulai ada sejak diutusnya Rasul pertama Nuh Alaihissallam , dimana kaum beliau tidak segan-segan mengejek dan menghina Nabi Nuh Alaihissallam untuk mempertahankan keyakinan yg mereka anut. Kemudian berlanjut sesuai dengan perjalanan waktu sampai pada masa Nabi Ibrâhîm Alaiihssallam, dimana beliau mengalami penyiksaan dari kekuatan politik Namrud yang Radikal. Selanjutnya nabi Musa Alaihissallam, bagaimana pula beliau bersama bani Israil mengalami berbagai penyiksaan dan pembunuhan dari kekuatan politik yang radikal dibawah pinpinan Fir’aun. Bahkan Fir’aun dan kaumnya menuduh Nabi Musa Alaihissallam sebagai orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam al-Qur’ân:

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ ۚ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ

Masyarakat dari kaum Fir’aun berkata, "Apakah engkau ingin membiarkan Musa berbuat kerusakan di muka bumi ini? Dan ia meninggalkan kamu dan sesembahanmu." Fir’aun menjawab, "Kita akan bunuh anak-anaak mereka yang laki-laki dan membiarkan anak-anak perempuan mereka. Dan sesungguhnya kita orang-orang yang berkuasa di atas mereka. [Al-A’râf/7:128]

Demikian pula radikalisme yang dilakukan oleh umat Yahudi terhadap Nabi Isa Alaihissallam. Hal yang sama, bahkan lebih dari itu yang dialami oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para Shahabat Beliau Radhiyallahu anhum di kota Mekah. Mereka ditindas, disiksa, bahkan dibunuh.

Di zaman era globalisasi betapa banyak tindakkan politik radikal yang telah membunuh ratusan juta jiwa dan membinaskan harta-benda, seperti Afganistan, Iraq, Iran, Libia, Suria dan Yaman serta pembunuhan yang terjadi di bumi Palestina yang tidak pernah dipandang oleh dunia sebagai tindakkan radikal. 

Maka inti dari permasalahan Radikalisme adalah ketika menilai pelaku tindak radikal yang teroganisir sebagai gerakan anti radikalisme, pada hal sejatinya mereka yang lebih pantas untuk disebut sebagai kaum radikal.

SEBAB-SEBAB RADIKALISME[5] 
Mengenal sebab tentang sesuatu hal yang ingin kita terapi adalah amat penting. Karena melalui sebab-sebab tersebut akan dilakukan diagnosa untuk memberikan terapi yang tepat terhadap suatu penyakit. Oleh sebab itu sebelum memberikan resep dan terapi, kita penting mengenal sebab akibat dari suatu penyakit. Supaya terapi yang diberikan tepat mengena sasaran, sehingga diharapkan kesehatan akan sangat cepat dapat dipulihkan. Bahkan terapinya tidak mesti makan obat, akan tetapi mungkin cukup dengan menghindari sebab-sebanya saja.

Jika kita cermati banyak sekali persoalan yang mendukung dan menyebabkan muncul dan berkembangnya Radikalisme. Pada berikut ini kita akan sebutkan yang paling dominan saja, diantaranya: 

1. Penjajahan dan pencaplokan terhadap negara-negara Muslim, seperti Palestina, Iraq, dan Afganistan. Dunia bungkam seribu bahasa terhadap penjajahan yang dilakukan Israil dan Amerika. Kenapa presiden George Bush tidak dibawa ke mahkamah international sebagai penjahat perang. Karena ia telah menentang keputusan PBB dan dunia international dalam penyerbuannya ke Iraq. Bahkan alasan penyerbuan tersebut tidak terbukti seperti yang dituduhkan bahwa adanya pembuatan senjata pembunuh massal dan nuklir di Iraq. Demikian pula kekejaman Israil terhadap rakyat Palestina. Kenapa dunia international tidak menindak dan menghukum Israil terhadap kejahatan dan kekejamannya di Palestina? Kenapa Israil boleh membangun pabrik pengayaan uranium dan senjara nuklir tetapi negara lain tidak? Apakah ini semua yang dinamakan sebagai keadilan dan demokrasi yang diterapkan dan dipaksakan oleh barat dan Amerika kepada negara-negara lain?

Sesungguhnya semua hal ini tidak luput dari perhatian pemimpin-pemimpin negara Muslim. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan kepada mereka untuk berani berbicara di dunia international demi keadilan.

Kenapa yang dihancurkan dan dimusnahkan adalah negara dan manusia yang tidak bersalah hanya demi untuk menangkap Saddam dan Bin Laden? Sesungguhnya orang-orang kafir memang tidak akan pernah berbuat adil.

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ 

Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim. [Al-Baqarah/2:254]

Dalam ayat lain Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ 

Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allâh lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya Allâh memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak [Ibrâhîm/14:42]

Allâh Azza wa Jalla tegaskan lagi pada ayat lain:

إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ 

Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung [Yûsuf/12:23]

2. Penindasan terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya orang-orang kafir, mereka dikekang dan dibelenggu, tidak bebas menjalankan ajaran agama mereka secara sempurna. Walaupun menurut undang-undang international setiap individu dijamin kebebasan untuk menjalankan agamanya. Akan tetapi undang-undang ini hanya dinikmat oleh orang-orang kafir yang berada di negara-negara Muslim. Adapun untuk orang Muslim yang berada di negara-negara orang-orang kafir undang-undang tersebut tidak diberlakukan. Tentu yang berkewajiban menyampaikan hal ini adalah para penguasa Muslim di hapan para pemimpin dunia.

3. Kezhaliman dari sebagian penguasa terhadap aktivis-aktivis dakwah, yang menimbulkan dendam yang berkepanjangan dalam diri sebagian mereka. Kemudian diiringi dengan konflik perebutan kebijakan dalam kekuasaan antara aktifis dakwah dengan sebagian penguasa. Sehingga tidak jarang bermuara kepada penculikkan dan pembunuhan dari pihak penguasa terhadap aktifis dakwah. Ditambah lagi adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang sengaja membenturkan antara umat Islam dengan pihak penguasa. Sehingga ada kekuwatiran dari pihak penguasa akan terjadinya Islamisasi terhadap sebuah bangsa. Lalu dianggap dapat mengganggu keamanan dan persatuan bangsa.

Kesalahan ini tidak bisa dibebankan pada pihak tertentu, tetapi dari kedua belah pihak terdapat kesalahan. Karena diantara aktivis dakwah ada yang menjadikan isu Islam sebagai batu loncatan untuk memuaskan nafsu politiknya. Tetapi perlu diyakini oleh semua penegak bangsa ini bahwa Islam adalah perekat persatuan bangsa. Islam menyuruh pemeluknya untuk taat kepada penguasa dalam segala kebenaran. Islam mengharamkan tindaka-tindakan yang dapat melemahkan penguasa walau terdapat penyimpangan di tengah-tengah penguasa. Hal ini ditekankan oleh setiap Ulama dalam kitab-kitab aqidah Ahlussunnah wal jama'ah.

4. Kebodohan umat terhadap agama terutama masalah aqidah dan hukum-hukum jihad. 
Tatkala kebodohan dan kemunduran terhadap pemahaman agama tersebar di tengah-tengah masyarakat Islam, terutama generasi muda, maka ini menjadi ladang subur bagi alira-aliran sesat untuk menyebarkan doktrin-doktrin mereka termasuk gerakan Radikalisme terutama dikalangan generasi muda. Pembodohan tersebut ada terprogram dalam sistem pendidikan dan ada pula yang tidak disengaja. 

5. Ghuluw (eksrim) dalam pemahaman dan pengamalan agama dari sebagian generasi muda Islam. Semangat beragama yang tidak diiringi dan didukung oleh pengetahuan agama yang cukup dan pemahaman yang benar sering membawa kepada sikap eksrim dalam bersikap dan bertindak.

Sesungguhnya setan dalam menjerumuskan manusia kedalam kesesatan itu dengan memanfaatkan dua pintu; pintu syahwat (maksiat) dan pintu syubhat (bid'ah/ ghuluw). Jika seseorang gila syahwat maka setan akan menyesatkanya melalui pintu maksiat. Dan bila seseorang senang berbuat taat, maka setan akan menyesatkan melalui pintu bid'ah atau ghuluw. Hal ini terjadi jika keta'atan tersebut tidak berdasarkan kepada ilmu dan sunnah.

Yang dimaksud dengan ghuluw adalah melampaui batas perintah agama, sampai akhirnya terjerumus kepada perbuatan bid'ah. Berikut kita sebutkan dalil dari al Qur'an dan sunnah tentang larangan tindakan ghuluw dalam agama:

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ 

Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allâh kecuali yang benar [An-Nisâ/4:171]

Dan Firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ 

Katakanlah, "Hai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus" [Al-Mâidah/5:77]

Diriwayat oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Wahai manusia! Jauhilah sikap ghuluw (eksrim) dalam beragama. Karena sungguh sikap ghuluw beragama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian"[6] . 

6. Jauh dari bimbingan Ulama dalam mempelajari dan memahami ajaran agama.
Mempelajari agama dengan acara otodidak atau belajar agama bukan kepada ahlinya adalah diantara penyebab utama lahirnya berbagai kesesatan dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Yang salah bukan agama, akan tetapi cara dan jalan yang ditempuh dalam memahaminya. Oleh sebab itu Allâh Azza wa Jalla perintahkan agar kita bertanya kepada ahlinya.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui. [An-Nahl/16:43]

Jangankan ilmu agama, ilmu dunia sekalipun jika tidak dipelajari melalui ahlinya akan membawa kepada kebinasaan. Coba kita bayangkan jika seseorang ingin menjadi seorang dokter. Ia pergi ke toko buku lalu ia beli segala buku kedokteran. Kemudian ia coba memahami sendiri di rumah tanpa belajar kepada ahli kesehatan. Atau buku tersebut ia pahami menurut konsep dukun atau ia pelajari melalui dukun. Lalu setelah lima tahun ia membuka pratek pelayanan kesehatan, kira-kira bagaimana jadinya jika orang seperti itu mengobati masyarakat. Orang seperti ini pasti ditangkap dan diproses kepengadilan karena dianggap sebagai dokter gadungan. Tetapi sekarang banyak Ulama dan da’i gadungan kenapa tidak ditangkap? Padahal mereka jauh lebih berbahaya dari dokter gadungan. 

Kemarin ia sebagai bintang film, pelawak, model, penyanyi dan bekas tahananan kejahatan. Tiba-tiba hari ini menjadi da’i kondang dan berfatwa dengan seenaknya. Tokoh politik pun ikut berbicara masalah agama dan mengacak-acak ajaran agama. 

Dan lebih sadis lagi, ada yang belajar Islam kepada orang kafir. Mereka yang sudah nyata-nyata sesat dalam memahami Taurat dan Injil, lalu mengapa sekarang al-Qur’an dipelajari melalui mereka? Sekalipun ini terasa aneh tapi nyata. 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin 'Ash Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari (dada) manusia. Akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga tatkala Dia tidak menyisakan seorang pun yang berilmu maka manusia pun menjadikan para tokoh yang tidak berilmu (sebagai ulama). Lalu mereka ini ditanya (tentang permasalahan agama) maka mereka pun berfatwa tanpa didasari ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.[7] 

7. Kemungkaran merajalelal di tengah masyarakat, baik dari segi akhlak maupun pemikiran. Alasan kebesan dalam berfikir dan bersikap telah membuka pintu lebar-lebar bagi para penyembah hawa nafsu dan kaum zindiq untuk merusak ajaran agama. 

Ini lebih tepat kalau kita sebut kebablasan bukan kebebasan. Kebebasan seperti ini sangat sulit untuk dibedakan dengan kebebasan hutan belantara dengan kebebasan manusia yang memiliki akal. Sebaliknya bila ada orang yang menjalankan ajaran agama secara benar dianggap melanggar kebebasan. Kebebasan sepihak ini membuat sebagian pihak tidak senang dan memicu tindak Radikal di tengah-tengah masyarakat. 

8. Pengawasan yang lemah dari badan penegak hukum dalam menindak berbagai bentuk pelanggaran hukum yang terjadi. Terutama sekali bagi orang yang menghina dan mencela simbol dan hukum-hukum agama. Hukum Allâh Azza wa Jalla disalahkan dan dikritik habis-habisan, adapun undang-undang dan hukum buatan manusia tidak boleh dikritik dan disalahkan. Bagaimana jika seandainya ada seseorang yang menafsirkan Undang-undang 45, dan KUHP dengan seenaknya dan semaunya. Pasti orang tersebut akan dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Namun bila ada orang yang menafsirkan al-Qur'ân dengan seenaknya lalu mengolok-olok hukum Allâh Azza wa Jalla dan isi al-Qur'ân, bila dituntut untuk dihukum dan diproses, dianggap bertentangan dengan undang-undang hak asasi manusia. Bahkan penistaan agama terdapat di kampus-kampus Islam, seperti baru-baru ini kaum Muslimin dihebohkan oleh tindakan mahasiswa salah satu kampus Islam yang membuat spanduk bertuliskan “Tuhan telah membusuk”.

9. Para da'i kurang matang dari segi ilmu, kesabaran dan pengalaman dalam menghadapi tantangan dakwah. Sebahagian orang ada yang menginginkan jika berdakwah mulai di pagi hari, maka di sore hari harus melihat perubahan total 180 darjat. Hal ini bertentangan sunnah kauniyah dan sunnah syar'iyah. Secara kauniyah segala sesuatu mengalami perubahan dengan cara beransur-ansur. Demikian pula dalam sunnah syar'iyah, Allâh Azza wa Jalla menurunkan syari'atnya secara beransur-ansur. Diantara para Nabi ada yang berdakwah ratusan tahun, seperti nabi Nûh Alaihissallam, akan tetapi beliau Alaihissallam sabar dalam menunggu hasil. Diantara mereka juga yang diutus kepada penguasa yang kejam, seperti nabi Ibrâhîm Alaihissallam dan nabi Musa Alaihissallam, namun mereka sabar dalam mendakwahi kaumnya. Tidak pernah mengajak pengikutnya untuk menculik dan merusak fasilitas negara. Demikian pula halnya nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam di Mekah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya disiksa dan dihina, bahkan ada keluaga Ammâr bin Yasir Radhiyallahu anhu disiksa dihadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan perbuatan radikal kepada orang kafir, bahkan menyuruh sebahagian Shahabat untuk hijrah ke negeri Najasyi yang beragama Nasrani. Tidakkah para da'i kita mengambil 'ibroh dan pelajaran dari perjalanan dakwah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

TERAPI RADIKALISME
1. Menghentikan penjajahan terhadap negara-negara Muslim, serta mengembalikan hak-hak umat Islam terutama di Palestina, Afganistan, Irak dan Miyanmar.
Pada awal makalah ini telah kita paparkan tentang beberapa sebab yang memicu munculnya aksi radikalisme di berbagai negara di dunia. Menurut hemat kami, penjajahan dan pencaplokan terhadap negara-negara Muslim, seperti Palestina, Iraq, dan Afganistan adalah diantara sebab utama dalam persoalan ini. Maka untuk solusinya adalah menghentikan segala bentuk penjajahan tersebut. Termasuk juga pemaksaan barat untuk mengikuti sistem politik mereka. Karena masing-masing belahan dunia memiliki karakteristik yang berbada. Jangan mau disamakan semua bentuk sistem politik di seluruh dunia. Ini telah melanggar hak kebebasan sebuah negara dalam menentukan cara hidup bernegara mereka. Ini adalah penjajahan yang dibungkus dengan sempalan demokrasi.

2. Menghentikan penindasan dan pengekangan terhadap umat Islam dari kebebasan menjalankan ajaran agama mereka, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya orang-orang kafir. 
Menurut hemat kami gerakkan radikalisme akan bisa ditanggulangi bahkan dihentikan, bila penindasan dan pengekangan terhadap umat Islam dari menjalankan ajaran agama mereka dihentikan terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya orang-orang kafir. 

3. Menegakkan nilai-nilai keadilan di tengah-tengah masyarakat, serta menumpas segala bentuk maksiat dan kemungkaran terutama penodaan terhadap agama.
Disamping kita mengecam aksi radikalisme, sebaliknya perlu pula mencegah segala macam bentuk kemungkaran, terutama sekali pencemaran dan penodaan agama di tangan orang-orang liberal. Karena hal ini juga akan berakibat kepada radikal. Walau diawalnya tidak terkesan menimbulkan aksi radikalisme, namun muaranya tetap berakibat ke sana. Karena mereka menciptakan pembodohan dalam agama, bila masyarakat bodoh dengan agama doktrin-doktrin sesat sangat mudah berjangkit di tengah-tengah masyarakat. Ibaratnya jika masyarakat tidak diberi gizi aqidah yang sehat maka masyarakat akan mudah terjangkit berbagai macam penyakit aqidah yang sesat.

4. Menanamkan aqidah yang benar kepada umat, terutama generasi muda.
Karena jika kita cermati, hanya dengan mengajarkan aqidah yang benar segala bahaya bisa kita hadapi. Islam memiliki solusi yang sempurna untuk memecahkan segala permasalahan, baik sosial politik maupun sosial keagamaan termasuk hubungan antar umar beragama. Islam mengharamkan perbuatan zhalim terhadap sesama manusia bahkan terhadap binatang sekalipun. Radikalis tidak mungkin bisa ditumpas dengan kekuatan pasukan dan senjata semata. Sekalipun personnya mati, akan tetapi pemikiran dan doktrinnya tetap berkembang melaui tulisan dan media-media lainnya. Di negeri ini banyak sekali referensi yang menyebar dan menebar doktrin radikalis dengan alasan kebebasan berpendapat dan berfikir.

5. Mempelajari ilmu agama dari Ulama yang terpercaya dan dalam ilmunya, bukan orang yang berpura-pura seperti Ulama.
Perlu kami tegaskan sekali lagi, bahwa yang kami maksud pakar agama di sini adalah orang yang menimba ilmu agama dibawah asuhan Ulama, bukan dibawah asuhan orang yang tidak mengerti agama. Seperti orang mempelajari agama kepada tokoh-tokoh kafir, dimana mereka telah membuat kerancuan-kerancuan dalam pemahaman agama. Lalu kerancuan itu dibungkus dengan istilah pembaharuan, yang pada hakikatnya adalah membuat penyelewengan dalam agama.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Bertanyalah kepada para Ulama jika kamu tidak mengetahui (sebuah perkara agama)

Disamping itu perlu ada dukungan nyata dari penguasa untuk menfasilitasi para tokoh agama dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat. Ironisnya, yang kita dapati dewasa ini banyak yang berbicara agama bukan dari kalangan Ulama. Apalagi bila kita bicara masalah materi dan kualitas keilmuannya yang sangat jauh di bawah standar layak. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila kita temui di tengah-tengah masyarakat paham-paham aneh dan penyimpang. Betapa pula banyak kita saksikan para penjual ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla demi mendapatkan popularitas, kedudukan dan jabatan. Mereka memutar balikan pengertian ayat-ayat Allâh, secara khusus ayat-ayat yang berbicara plural. 

Hasil dari pendidikan agama yang jauh dari bimbingan Ulama akan bermuara kepada dua hal: Pertama, ghuluw atau ifraath (eksrim) yaitu kelompok yang berlebih-lebihan dan suka melampui batasan-batasan agama. Kedua: Jafâ’ atau tafrîth (pelecehan) yaitu kelompok yang suka mempemainkan dan melecehkan perintah-perintah agama. Kedua-duanya akan bermuara kepada radikalisme. Solusinya adalah kembalikan kedudukan Ulama di tengah-tengah masyarakat sebagai pengayom, pemandu dan pengarah. Demikian pula, para Ulama harus benar-benar menyadari tagung jawab mereka atas umat. Dimana di akhirat kelak mereka akan diminta pertanggungjawaban dan akan ditanya tentang ilmu dan fatwa-fatwa mereka. Maka seyogyanya, setiap penyuluh agama benar-benar berbicara sesuai dengan ilmu yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah yang shahih.

6. Mengembalikan persoalan-persoalan penting kepada Umara’ dan Ulama.
Banyak hal penting yang seharusnya menjadi hak penguasa yang direbut oleh sebahagian ormas Islam sehingga menimbulkan dualisme kebijakan, yang pada akhirnya berpeluang untuk terjadinya konflik atar sesama golongan dan kelompok. Sebaliknya, banyak pula hal yang seharus dibawah otoritas Ulama akan tetapi direbut oleh penguasa. Keretakan dalam kebijakkan ini berpeluang besar untuk saling rebut kepentingan yang akan bermuara kepada konflik harizontal.

Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan jika seandainya mereka itu menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengambil keputusan (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allâh kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil" [An-Nisâ/4:83]

Sebagian Ulama ahli tafsir mengartikan ulil amri dalam ayat tersebut dengan Umara’ dan Ulama.

7. Kerjasama antara Ulama dam Umara' dalam pencerahan pemahaman agama kepada generasi muda.
Melalui tulisan ini kami mengusulkan kepada berbagai pihak terkait untuk membenahi tatanan pembinaan generasi muda bangsa ini. Mereka tidak dibina dari segi keterampilan dan keilmuan semata tapi yang lebih penting lagi pembinaan akhlak dan keimanan. Kemudian memperbaiki mutu kurikulum pendidikan agama dalam berbagai jenjang pendidikan, terlebih khusus kurikulum Aqidah. Agaknya pemerintah perlu menyediakan anggaran untuk kelancaran pencerahan pemahaman Islam di tengah-tengah generasi muda. Serta menghilangkan berbagai kecurigaan tentang perkembangan Islam. Sesungguhnya Islam adalah rahmat untuk seluruh umat.

8. Perhatian orang tua terhadap pendidikan agama anak-anak mereka serta mengawasi kegiatan anak-anak mereka di luar rumah.
Diantara hal yang sangat memperihatinkan di masa moderen ini adalah hubungan antar anggota keluarga. Semua kita sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga rumah tangga seperti hotel, penghuninya tidak saling komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Hubungan anak dengan orang tua hanya sebatas memberi makan dan kebutuhan lahiriyah semata. 

Amat jarang orang tua memberikan perhatian pendidikan agama bagi amak-anak mereka. Mereka berani membayar ratusan ribu bahkan jutaan untuk kursus bahasa inggris, matematika, sains dan ilmu lainya, namun untuk pendidikan agama tidak mau membayar walau sepuluh ribu perbulanya. Mereka berlangganan majalah setiap bulan dan koran setiap hari, akan tetapi buku-buku agama tidak pernah mereka belikan untuk anak-anak mereka. Perlu diketahui bahwa manusia memiliki dua sisi kebutuhan yang tidak bisa diabaikan salah satu di antara keduanya; kebutuhan rohani dan jasmani. Bahkan kebuthan rohani jauh lebih penting untuk dipenuhi daripada kebutuhan jasmani. Seharusnya setiap kepala keluarga melindungi anggota keluarga mereka masing-masing dari berbagai pengaruh aliran sesat. Dengan cara memberikan pengetahuan agama yang benar kepada anggota keluarga mereka.

9. Kepedulian masyarakat terhadap sesama, meninggalkan sikap acuh dan individualisme.
Diantara sebab berkembangnya paham radikalisme adalah sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap sesama. Sehingga radikalisme dapat berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat yang lain dalam menyebarkan doktrin mereka di tengah-tengah masyarakat. Maka diantara solusi yang dapat mengantipasi perkembangan paham radikalisme dan paham-paham sesat lainnya adalah dengan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap sesama dan meninggalkan sikap acuh serta individualisme. Sistem komunikasi modern mampu membuka jaringan komunikasi jarak jauh, namun terkadang merusak jaringan komunikasi jarak pendek. Sering sebuah keluarga tidak kenal dengan tetangganya. Ia tidak menyadari bahwa buruk dan baiknya tetangga akan mempengaruhi ketentraman kelurganya.

Salah satu ciri aliran sesat dalam mengembangkan ajarannya adalah dengan bersembunyi-sembunyi dalam menyampaikan ajaran agama. Untuk ikut kedalam kelompoknya memiliki syarat-syarat tertentu yang harus diikuti. 

Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, "Apabila engkau melihat sekelompok kaum bersembunyi-sembunyi dengan sesuatu dalam urusan agama mereka tanpa melibatkan orang umum, maka ketahuilah sesungguhnya mereka sedang menciptakan sebuah kesesatan."[8] 

Ini bukan berarti bahwa masyarakat senantiasa harus mencurigai majlis-majlis pengajian, akan tetapi perlu klarafikasi terhadap kelompok kajian yang tertutup, dan melaporkan kepada pihak terkait untuk melakukan penelitiaan, apakah ada penyimpangan dalam kelompok kajian tersebut. 

10. Meningkatkan pengawasan Ulama dan pihak terkait terhadap perkembangan pemahaman agama yang berkembang di masyarakat.
Hendaknya para Ulama juga pihak-pihak terkait meningkat pengawasan mereka terhadap perkembangan pemahaman keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Agar segala bentuk penyimpangan yang terjadi dalam pemahaman agama dapat diantisipasi sejak dini. Ibarat api jika masih dalam bentuk nyala lilin sangat mudah untuk dipadamkan. Namun apabila sudah menjadi besar dan bergejolak, api tersebut akan sangat sulit untuk dipadamkan.

KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kesimpulan
Diantara bagian terpenting dalam mencegah dan menanggulang radikalisme adalah pelunya memperhatikan sebab-sebab yang memancing untuk bangkit dan berkembangnya paham radikal.

Bahwa pencegahan dan penanggulangan radikalisme perlu dilakukan dengan cara lebih fokus, terarah dan terkoordinir dengan melibat unsur-unsur penting dari kalang Ulama dan umara'.

Ulama dan keluarga memiliki peran penting dalam pencegahan dan penanggulangan perkembangan paham radikal.
Pencegahan radikalisme akan lebih efektif dengan melakukan pendekatan persuasif dan pendekatan emosional keagamaan dari pada pencegahan dengan menggunakan senjata.

Penutup
Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini. Semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki. Semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi kaum Muslimin semua. 

Semoga Allâh Azza wa Jalla memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikutinya. Dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan kita dijauhkan dari mengikuti hal yang salah tersebut. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. (http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_%28sejarah%29).
[2]. Lihat “Terorisme; Sabab dan Solusi Penanggulangannya”.
[3]. Dinukil dari (http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_%28sejarah%29).
[4]. Dinukil dari (http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme).
[5]. Bahasan ini diambil dari tulisan penulis “Terorisme; Sebab dan Solusi Penanggulangannya”.
[6]. HR. Imam an-Nasâ'i : 5/268 (3057) dan Imam Ibnu Mâjah: 2/1008 (3029) serta dishahihkan oleh Syaikh al-Bâni.
[7]. HR. Imam al-Bukhâri: 1/50 (100) dan Imam Muslim: 8/60 (6971).

[8]. Diriwayatkan oleh Imam Dârimi: 1/103 (307) dan al-Lâlikâi: 1/135 (251).