Rabu, 03 Februari 2016

valentine-no-way

Valentine’s Day, Legenda yang Mengoyak Aqidah dan Kehormatan

بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah wassholatu wassalamu ‘ala rasulillah nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in.
Saya sebenarnya tak ingin terlalu menyibukkan diri dengan asal-usul masalah yang satu ini, toh sudah banyak tulisan dan wejangan mengenainya dari mereka yang menolak ataupun yang mendukungnya. Namun akhir-akhir ini apa yang kita saksikan di tengah masyarakat semakin menghkawatirkan. Akan seperti apa masyarakat kita kelak bila dipimpin calon pemimpin masa depan yang usia mudanya telah rusak poranda karena dicecoki budaya barat. Mulai dari ucapan happy valentine’s day, selamat hari kasih sayang, saling memberi hadiah bunga, cokelat dan sebagainya telah menjadi kebiasaan anak-anak muda kita setiap memasuki bulan Februari.
Mirisnya adalah karena hal ini terjadi setiap tahun, ditambah lagi sikap sebahagian orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan peluang berupa sikap latah masyarakat guna meraup untung sebanyak-banyaknya. Dibuatlah bingkisan-bingkisan khusus dan aneh yang semakin menambah kekhawatiran kita. Oleh karena itu saya tergerak untuk menyampaikan penjelasan dengan menilik kembali asal-usul dari valentine’s day.
Sumber terpercaya menyebutkan bahwa asal kisah valentine’s day itu sebenarnya masih dipertanyakan oleh banyak sejarawan. Sebahagian mengatakan bahwa hari yang dikenal sebagai hari kasih sayang itu merupakan proyeksi dari keyakinan yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Menurut sejarah kalender Athena kuno, periode antara pertengahan bulan Januari sampai pertengahan Februari adalah bulan Gamelion yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.Di Roma kuno, 15 Februari dikenal sebagai hari Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus atau Dewa Kesuburan yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing.
Berbeda dengan hari Lupercalia, menurut Ensiklopedia Katolik 1908, kata Valentine berasal dari kisah seorang martir atau santo (orang suci) yang bernama Valentinus, namun penentuan orangnya ada 3 versi :
1. Seorang pastor di kota Roma.
2. Seorang uskup di Interamna.
3. Seorang martir di Provinsi Romawi Africa.
Hubungan antara ketiga versi di atas dengan hari kasih sayang sebenarnya tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I menyatakan bahwa tak ada yang mengetahui tentang ketiga martir tersebut, namun 14 Februari tetap dijadikan sebagai hari raya bagi penganut agama ini untuk mengenang Santo Valentinus. Ada yang berpendapat bahwa 14 Februari sengaja ditetapkan sebagai hari Valentine’s untuk menandingi hari Lupercalia pada tanggal 15 Februari esok harinya.
Barulah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis dan kasih sayang, di mana pada tanggal tersebut (14 Februari) dipercayai adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya seorang sastrawan Inggris pertengahan bernama Geoffrey Chaucer. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa;
For this was sent on Seynt Valentyne’s day”
When every foul cometh there to choose his mate”
Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus”
Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya”
Pada zaman itu bagi para kekasih lazim bertukaran catatan pada hari ini dan memanggil pasangan mereka sebagai “Valentine” mereka. Kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai Santo Valentinus diciptakan pada zaman ini. Beberapa di antaranya bercerita bahwa:
￿ Sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (orang suci dalam ajaran Katolik), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis, “Dari Valentinusmu”.
 Ketika serdadu Romawi dilarang menikah oleh Kaisar Claudius II, Santo Valentinus secara rahasia membantu menikahkan mereka. Pada kebanyakan versi legenda-legenda ini, 14 Februari dihubungkan dengan keguguran sebagai martir.
Kesimpulan yang saya dapatkan bahwa valentine’s day ini tidak memiliki dasar sejarah yang jelas, yang ada hanyalah kisah-kisah dongeng atau legenda yang diceritakan untuk melegalkan sebuah perayaan tertentu. Terlepas benar atau tidaknya, sebagai seorang muslim yang baik seharusnya tidak ikut-ikutan terhadap budaya atau adat dan perayaan orang-orang yang berbeda keyakinannya dengan kita. Sebagai contoh bila orang-orang tersebut meyakini free sex dan legalnya hal tersebut, maka tidak boleh kita menerimanya bulat-bulat meskipun keyakinan mereka takkan mungkin disodorkan kepada kita tanpa bungkus dan penutup penghias mata dan telinga.
Hari valentine’s ini misalnya, hari raya bagi mereka yang katanya ingin meluapkan kasih sayangnya kepada sang kekasih, namun kenyataannya ia merupakan salah satu cara untuk melegalkan keyakinan free sex mereka. Dan masih sangat banyak kerusakan yang terangkum dalam valentine day, seperti tabdziir (menyia-nyiakan) harta dan waktu untuk mengadakan perayaan hari valentine dengan bermacam pelanggaran dan kemungkaran lainnya.
1. Valentine’s day merusak aqidah seorang muslim.
Bagaimana tidak? Seorang muslim yang seharusnya merasa bangga dengan agama yang dianutnya, justru latah mengikuti budaya dan kebiasaan rusak dari barat. Bahkan tidak hanya budaya, kalau kita menyimak baik-baik penjelasan di atas, ternyata diantara sebab munculnya valentine’s day adalah kisah meninggalnya seorang martir atau santo yang beragama Kristen katolik yang jelas berbeda agama dengan kita. Lantas apakah pantas seorang muslim merayakan hari kematian seorang yang kafir kepada Allah? Tidak hanya itu, di dalam agama kita sendiri, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Alquran Artinya: demikianlah perintah Allah, dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu berasal dari ketakwaan hati.[1]
Pemahaman kebalikannya dari ayat ini, bahwa siapa yang tidak mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah apalagi –na’udzu billah min dzalik- meninggalkan syi’arNya maka hal itu berasal dari rusaknya hati yang bisa berujung kefasikan, kemunafikan atau kekufuran. Dan hal ini telah terjadi di hadapan kita jauh hari sebelum perayaan valentine’s day, ibadah sholat ditinggalkan, ucapan salam yang diajarkan agama Islam perlahan-lahan diganti dengan ucapan-ucapan lain, dan masih banyak lagi syi’ar islam yang ditinggalkan, lalu bagaimana lagi jika telah datang perayaan 14 Februari tersebut?
2. Valentine’s day merusak kehormatan muslim/ah
Para pembaca sekalian pasti sudah mengetahui maksud dari point kedua ini. Anda semuanya telah menyaksikan dan mendengarkan apa yang terjadi pada valentine’s day. Kehormatan dan kesucian seorang muslim/ah menjadi rusak dan tercoreng akibat keyakinan dan budaya yang diajarkan oleh barat ini. 
Tidak hanya itu, identitas muslim/muslimah menjadi debu yang bertebaran tatkala datang hari ini. Semua berbondong-bondong membeli hadiah, pemberian, cokelat atau bunga mawar untuk kekasihnya (halal atau haram) di dalam rangkaian hari raya agama Kristen Katolik. Sungguh penjualan identitas massal yang terjadi pada hari itu, agama islam seakan dijontorkan dari hati setiap Pelaku valentine’s day untuk menikmati 1 hari yang akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Dimanakah mereka dari firman Allah yang berbunyi Artinya: Katakanlah : Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.[2]
Begitu pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang seharusnya rasikh/tertanam kuat dalam hati seorang muslim :
مَنْ قَالَ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَجَبَتْلَهُ الْجَنَّةُ
Artinya : Barang siapa yang mengucapkan “Aku ridho Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad adalah Rasulku”, maka ia akan masuk syurga.[3]
Juga sabda beliau :
Artinya : Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut. Diriwayatkan bahwa suatu ketika pada masa kekhilafaan Umar ibn khattab radiyallahu ‘anhu, beliau mendatangi kota Syam bersama Abu ‘ubaidah ibnul jarrah radiyallahu ‘anhu. Sebelum mereka tiba di kota Syam, Umar lalu turun dari unta yang dikendarainya, melepaskan kedua sepatunya dan dijepit di bawah ketiak sembari menuntun unta miliknya. Melihat tingkah sang khalifah, Abu ‘ubaidah lalu berkata “Wahai amirul mukminin Umar, mengapa engkau melakukan hal tersebut(tingkah yang dilakukan Umar radiyallahu ‘anhu), Saya merasa penduduk Syam akan menganggapmu remeh dan hina bila melihatmu 
melakukan hal itu”, lalu Umar radiyallahu ‘anhu kemudian menjawabnya “Aduh, seandainya saja perkataan seperti yang barusan saya dengar tidak berasal darimu wahai Abu ‘ubaidah, maka akan saya balas dengan balasan yang pedih. Sesungguhnya kita ini dahulu adalah ummat yang hina lalu Allah memuliakan kita dengan agama islam, maka dengan cara apapun kita mencari kemuliaan selain agama islam, pasti kita akan tetap menjadi hina.[4]
Sahabat, kemuliaan itu diraih dengan menjadi muslim yang sejati. Agama Islam telah memuliakan anda dan seluruh orang-orang yang beriman. Allah berfirman :
ولِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُون
Artinya : Dan kemuliaan hanyalah milik Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafiq itu tidak mengetahuinya.[5] Jika saja Umar ibn khattab radiyallahu ‘anhu bersikap keras kepada Abu ‘ubaidah ibnul jarrah atas perkataannya, lalu bisakah anda bayangkan bagaimana sikap Umar terhadap apa yang terjadi hari ini? kaum muslimin mencari kemuliaan dengan mengikuti ajaran selain islam…dan bisakah anda bayangkan bagaimana sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap 
ummatnya yang seperti ini? sungguh akan sangat disayangkan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menunggu kita semua pada hari kiamat di telaga beliau untuk meminum air darinya. Ketika ummat beliau telah berdesak-desakan untuk meminum air dari telaga itu, akan terlihat orang-orang yang diusir darinya. Rasulullah kemudian mengatakan “Duhai Allah, Duhai Rabbku, ummatku..kaumku…lalu dikatakan kepadanya “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau tak mengetahui apa yang diperbuat ummatmu sepeninggalmu”.[6]
Maka bila Anda adalah muslim yang baik saat ini, jagalah keislaman Anda, identitas dunia dan akhirat yang akan meyelamatkan Anda hari ini dan hari akhir kelak. Karena itu, selamatkan diri dengan menjauhi perayaan valentine’s day bagaimanapun bentuknya, karena hari itu legenda Valentinus siap mengoyak banyak aqidah dan kehormatan manusia…Apakah Anda termasuk di dalamnya atau tidak??? Tanda Tanya besar yang akan dibuktikan pada 14 Februari nanti…Sekian.
[1] Surah Al haj 32.
[2] Surah Al an’am 162.
[3] HR Abu dawud 1/562 no.1531 dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albany.
[4] HR Al mundziry 4/35 dengan sanad yang shohih.
[5] Surah Al munafiqun 8.
[6] HR Al mundziry 2/25 dengan sanad yang baik.
Oleh : Rachmat Badani Abu AQilah

Senin, 01 Februari 2016

Bencana Cinta Sejenis LGBT

Februari 1, 2016

Bencana Cinta Sejenis
 
Homoseksual  adalah kerusakan moral yang nyata. Jarang sekali ada orang di bumi Indonesia ini yang terang-terangan menyatakan bahwa homoseksual itu wajar. Namun anehnya, baru-baru ini media santer memberitakan akan diadakannya kongres internasional perkumpulan lesbian, gay, biseks, transgender, interseks (ILGA) di Surabaya, walau belakangan acara amoral ini bisa digagalkan oleh berbagai elemen umat. Walhamdulillah.
ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association) yang bisa begitu vulgar dan ngotot untuk  mengadakan kongres keempatnya di negeri dengan penduduk muslim terbesar ini, setidaknya memberikan isyarat kepada kita bahwa komunitas sodom ini mulai bangkit untuk mendapatkan legitimasi dan tempat di mata masyarakat atas perbuatan tercelanya. 
Akhir-akhir ini nilai yang dianut masyarakat kita perlahan bergeser. Acara-acara TV yang menampilkan sosok gay semakin menjamur. Mereka muncul untuk “mengangkat” diri, bahwa kaum gay sebagai kaum marginal patut untuk mendapatkan hak-hak layaknya masyarakat yang lain. Karena tayangan yang seperti ini, masyarakat pun mulai terbiasa, bahkan penampilan kaum gay dinilai sebagai hiburan.
Gerakan mereka di Indonesia bukanlah gerakan baru. Pada tahun 1969, di Jakarta berdiri organisasi gay  pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Disusul pada tanggal 1 Maret 1982, organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia berdiri di Solo. Dalam waktu yang tidak lama, terbentuklah cabang-cabangnya di berbagai kota di Indonesia. Untuk menyerukan ide kelompoknya, pada tahun-tahun berikutnya, kaum gay makin banyak mendirikan organisasi dan komunitas-komunitas sodom pengundang murka Allah.
Dengan  dalih hak asasi manusia (HAM) dan pembelaan terhadap kaum minoritas yang terpinggirkan, maka perkawinan sesama jenis ini terus diperjuangkan agar mendapat tempat di masyarakat. Kalangan yang paling banyak memberi dukungan terhadap perilaku disorientasi seksual ini adalah golongan liberal. Bahkan ada buku yang diterbitkan oleh  salah satu institusi agama Islam yang berjudul “Indahnya Nikah Sejenis”, adalah kumpulan artikel Jurnal Justisia Semarang, yang penulisnya adalah seorang mahasiswa Islam. Parahnya sebuah seminar dengan tajuk “Gay Jadi, Kawin Juga Boleh” diadakan oleh salah satu universitas Islam di Jogja. Tidak sampai di situ, pada jurnal  Justisia edisi 2004 dikatakan bahwa kisah kaum Nabi Luth yang diabadikan di dalam al-Qur’an dianggap hanya sekadar story atau mitos. Gay, lesbian dan waria juga bagian dari fitrah manusia, hal itu tidak menyalahi kodrat, melainkan sesuatu yang wajar, natural dan anugerah dari Allah. 
Homoseksual dalam Tinjauan Syari’at 

Dalam istilah Islam, homoseksual lebih dikenal dengan nama "al-Liwâth" yang diambil dari kata "Luth" nama seorang Nabi Allah. Dinisbatkan kepada Nabi Allah tersebut, sebab perbuatan semacam itu dilakukan pertama kali oleh kaumnya. Terkadang juga disebut dengan istilah sodomi, dari nama negri kaum Nabi Luth, Sodom.
Para ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah Subhaanahu Wa’taala dan rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah mencela dan menghina para pelakunya. 
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Al-A’raf: 80-81).
Kisah kaum Nabi Luth ini menampakkan begitu jelasnya penyimpangan mereka dari fitrah. Hingga  menanggapi apa yang telah mereka lakukan, Nabi Luth mengatakan bahwa perbuatan bejat seperti itu belum pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya.
Kenistaan perilaku homoseksual telah mencapai puncak keburukan. Hampir-hampir kita tidak pernah mendapatkan seekor hewan jantan pun yang mengawini hewan jantan lain. Akan tetapi keanehan itu justru terdapat pada manusia yang telah rusak akalnya dan menggunakan akal tersebut untuk berbuat nista.
Maka pantaslah Allah kemudian mengirim malaikatnya untuk membinasakan Kaum Luth. 
“Dan tatkala utusan-utusan Kami (para malaikat) datang kepada Luth, maka ia merasa susah, dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, “Ini adalah hari yang amat sulit”. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang keji (homoseksual). Luth berkata, “Hai kaumku inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertaqwalah kepada Allah, dan kalian jangan mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku. Tidakkah ada di antara kalian orang yang berakal?” Mereka (kaumnya) menjawab, “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu; dan sesungguhnya kamu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”. Luth berkata, “Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (maka aku akan lakukan)”. Para utusan (malaikat) itu berkata, ”Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tak akan mengganggumu, sebab itu pergilah dengan membawa keluargamu, dan pengikut-pengikutmu di akhir malam, dan janganlah ada seorang pun di antara kalian yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?” Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zholim“ (QS. Huud: 77-82).
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda akan kekuatiran beliau atas kaum yang menyimpang ini, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad, At-Timidzy dan Ibnu Majah. Dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albany). 
Fudhail Ibnu Iyadh berkata, “Andaikan pelaku homoseksual mandi dengan setiap tetesan air langit maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak suci.”
Terdapat riwayat dari Khalid bin al-Walid Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia pernah menemukan di suatu daerah pinggiran perkampungan Arab seorang laki-laki yang menikah dengan sesamanya layaknya menikahi seorang wanita. Maka, ia pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau meminta pendapat para shahabat yang lain, di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengambil pendapat yang sangat tegas. Ia mengatakan, "Menurutku, hukumannya dibakar dengan api." Maka Abu Bakar pun mengirimkan balasan kepada Khalid bahwa hukumannya ‘dibakar.’
Sedangkan Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, "Perlu dicari dulu, mana bangunan yang paling tinggi di suatu perkampungan, lalu pelaku homoseks  tersebut dilempar darinya dengan posisi terbalik, kemudian dibarengi dengan lemparan batu ke arahnya."
Kerasnya hukuman tersebut menunjukkan bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang sangat nista sebagaimana  dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth.” (HR. an-Nasa’i). 
"Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah si pelaku dan pasangannya." (Diriwayatkan oleh para penyusun kitab as-Sunan).
Semoga saja masyarakat kita tidak mengalami azab seperti azab yang menimpa kaum Nabi Luth, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghujani mereka dengan batu. Tidak tersisa seorang pun melainkan dia terhujani batu tersebut. Hingga kota mereka hanyalah kenangan yang membawa ibrah bagi yang mau berpikir. Allah Ta’ala berfirman, artinya,
“Maka kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”. (QS. Al-Hijr: 74).
Lalu masihkah homoseksual dianggap merupakan prilaku yang wajar? Padahal Allah telah membebaskan manusia dari berbagai penyakit sosial ini, namun mereka sendirilah yang memilih untuk menyiksa dirinya. Dan memilih menunggu-nunggu datangnya azab yang telah Allah janjikan. wal ‘iyadzu billah. 
Wallahul Musta’an wahuwa Yahdi as-Sabil, [Marzuki Umar] (Buletin Al Fikrah)

Minggu, 31 Januari 2016

KISAH NYATA

KISAH NYATA...Saat Dilamar, Anak Gadisnya Ternyata Sudah Tak Suci Lagi...
‪#‎PHP‬(perawanhampirpunah)
Seorang pemuda yang komitmen beragama maju untuk menikah. Dia mulai mencari calon pasangan perempuan. Syarat satu-satunya adalah agar dia seorang wanita yang komitmen, berakhlak, dan kuat agama. Dan setelah melalui pencarian, kini dia telah menemukan gadis tersebut, sebagaimana ciri-ciri yang diinginkan.
Setelah melamar, dan ketika ia telah bersiap-siap untuk menikah, tiba-tiba calon mempelai perempuan menolak dan mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah. Keluarganya terheran melihat keputusannya yang mengagetkan, setelah sebelumnya memberikan kesanggupan. Pemuda itu meminta sang gadis untuk menjelaskan penolakannya, namun justru ia membawakan alasan-alasan yang lemah. Setelah itu, perkaranya ditangani oleh ibunya yang merasa sangat sedih dengan keputusan ini. Terlebih, pemuda itu terkenal dengan bagus akhlak dan budi pekertinya.
Setelah sang ibu mendesaknya, dia (calon mempelai perempuan tersebut) berkata kepada ibunya, “Sesungguhnya Allah Maha menutupi (dosa hamba-hamba-Nya), dan Dia telah menutupiku. Tinggalkanlah aku dan urusanku…” Di hadapan desakan sang ibu yang sangat bingung dengan perkara itu, dia berterus terang kepada sang ibu bahwa dirinya telah kehilangan kehormatannya, namun dia telah bertaubat. Dan bahwa peristiwa itulah yang menyebabkan sikap komitmennya terhadap agamanya, sekaligus sebab penolakannya untuk menikah. Ia meminta ibunya agar merahasiakan perkara itu, dan bahwa ia akan menebus sebab kesalahannya. Ibunya memikirkan perkara itu dan berkata, “Putriku! Selama kamu telah bertaubat kepada Allah, sedang Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya dan memaafkan banyak dosa, maka biarkan aku meminta pendapat pemuda itu, barangkali ia akan menerima atau menutupinya…”
Setelah melalui musyawarah dan diskusi yang panjang, gadis itu pun menerima usulan itu. Sang ibu pun pergi, tidak tahu entah bagaimana akan membuka berita buruk ini kepada sang calon pengantin. Setelah sempat bimbang, tidak lama kemudian ia meminta supaya pemuda itu menemuinya.
Ketika pemuda itu datang, ia membuka permasalahan itu kepadanya dan meminta pendapatnya. Ia menceritakan bahwa putrinya menjadi komitmen terhadap agama setelah perbuatan itu dan telah bertaubat kepada Allah, inilah sebab penolakannya untuk menikah…
Pemuda itu berpikir sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya sepakat untuk menikah dengannya selama ia telah bertaubat dan kembali kepada Allah dan istiqamah. Dahulu sebelum komitmenku terhadap agama, aku sendiri berada dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Sementara kita tidak tahu siapakah yang diterima taubatnya di sisi Allah.”
Wajah sang ibu itu berseri mendengar berita gembira ini dan segera pergi menemui putrinya dengan penuh suka cita, dan dalam waktu yang bersamaan ia merasa takjub dengan sikap ksatria dan keputusan baik pemuda itu, lalu memberitahukan kabar gembira itu kepada putrinya. Dan pernikahan pun terlaksana.
Ketika bertemu, sang wanita banyak menangis. Sementara bahasa isyaratnya mengatakan, “Betapa engkau laki-laki cerdas. Aku akan menjadi istri yang taat bagimu.” Dan Allah pun mempertemukan mereka berdua dengan kebaikan.
Sumber: 90 Kisah Malam Pertama karya Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta, alsofwah.or.id

Sabtu, 16 Januari 2016

💌 Mengabadikan Diri
Setiap orang menginginkan keabadian. Sadar atau tidak, kita tidak ingin melepaskan apa yang pernah kita miliki. Nikmat misalnya, kita tak akan pernah merasa memiliki sampai benar-benar nikmat itu pergi.
Ada yang mengabadikan dirinya lewat jepretan foto selfiannya. Adapula dengan popularitas, menyangka bahwa setelah nanti masih ada pemujinya. Ada dengan harta, sedari sekarang terus berderma membangun citra. Ada dengan kekuasaan, sehingga setiap peresmianbenda negara selalu tertulis nama dan tanda tangannya.
Tapi semua itu semu. Kekayaan akan kadaluarsa. Jabatan segera pensiun. Bangunan-bangunan itu diruntuh waktu. Para penulis sejarah lupa lantaran kepentingan. Keabadian bukan disitu. Justru kami berfikir keabadian ada pada niat.
“Apa yang hanya karena Allah itulah yang akan abadi” sebut Imam Malik.
Bahwa kuburan orang-orang hebat bukanlah di taman makam pahlawan. Atau di museum jantung Kota. Tugu Nasional apalagi.
“Ada di hati dan lisan para manusia.”
Aku ingin mengabadikan hati bersamamu yaa Rabb. Menjadi niat yang selalu dihidupkan. Menjadi barisan kata yang selalu diamalkan, BAPER misalnya, Barisan Para Pengikut Rasu yang Menjadi amal yang akan terus membersamai. sekalipun sudah tiada nantinya.
“Semoga Allah selalu menjadi yang pertama. Bahwa niat menjadi tujuan. Sementara perjuangan adalah jalan.”
*Msc
والله أعلمُ بالـصـواب

Kamis, 07 Januari 2016

Kisah Uwais al - Qarni

Kisah Uwais Al Qarni dan Baktinya pada Orang Tua

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




Kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni ini patut diambil faedah dan pelajaran. Terutama ia punya amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak orang yang meminta doa kebaikan melalui perantaranya. Apalagi yang menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh hari.
Kisahnya adalah berawal dari pertemuaannya dengan ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ . قَالَ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ نَعَمْ.
قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ
Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”
Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”
Uwais menjawab, “Iya.”
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”
Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.
Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.
Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”
Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”
قَالَ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ قَالَ تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ».
Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.
فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ فَاسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ لَقِيتَ عُمَرَ قَالَ نَعَمْ. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ
Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”
Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.
فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ فَانْطَلَقَ عَلَى وَجْهِهِ
“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)

Faedah dari kisah Uwais Al Qarni di atas:

1- Kisah Uwais menunjukkan mu’jizat yang benar-benar nampak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin ‘Amir. Dia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah bagian dari Murad.
2- Kita dapat ambil pelajaran –kata Imam Nawawi- bahwa Uwais adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia.
Maksud di atas ditunjukkan dalam riwayat lain,
أَنَّ أَهْلَ الْكُوفَةِ وَفَدُوا إِلَى عُمَرَ وَفِيهِمْ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يَسْخَرُ بِأُوَيْسٍ
“Penduduk Kufah ada yang menemui ‘Umar. Ketika itu ada seseorang yang meremehkan atau merendahkan Uwais.”
Dari sini berarti kemuliaan Uwais banyak tidak diketahui oleh orang lain sehingga mereka sering merendahkannya.
3- Keistimewaan atau manaqib dari Uwais nampak dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Umar untuk meminta do’a dari Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk memberikan ampunan padanya.
4- Dianjurkan untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.
5- Boleh orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang kedudukannya lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat tentu lebih mulia, diperintahkan untuk meminta do’a pada Uwais –seorang tabi’in- yang kedudukannya lebih rendah.
6- Uwais adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash dalam riwayat lainnya, dari ‘Umar bin Al Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang pria yang bernama . Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya ada putih-putih). Perintahkanlah padanya untuk meminta ampun untuk kalian.” (HR. Muslim no. 2542). Ini secara tegas menunjukkan bahwa Uwais adalah tabi’in yang terbaik.
Ada juga yang menyatakan seperti Imam Ahmad dan ulama lainnya bahwa yang terbaik dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin Al Musayyib. Yang dimaksud adalah baik dalam hal keunggulannya dalam ilmu syari’at seperti keunggulannya dalam tafsir, hadits, fikih, dan bukan maksudnya terbaik di sisi Allah seperti pada Uwais. Penyebutan ini pun termasuk mukjizat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7- Menjadi orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama. Lihatlah Uwais, ia sampai mengatakan pada ‘Umar,
أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
“Aku menjadi orang-orang lemah, itu lebih aku sukai.” Maksud perkataan ini adalah Uwais lebih senang menjadi orang-orang lemah, menjadi fakir miskian, keadaan yang tidak tenar itu lebih ia sukai. Jadi Uwais lebih suka hidup biasa-biasa saja (tidak tenar) dan ia berusaha untuk menyembunyikan keadaan dirinya. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
8- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti pada orang tua terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk qurobat (ibadah) yang utama.
9- Keadaan Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup terasing dari orang-orang.
10- Pelajaran sifat tawadhu’ yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.
11- Doa orang selepas bepergian dari safar yang baik seperti haji adalah doa yang mustajab. Sekaligus menunjukkan keutamaan safar yang shalih (safar ibadah).
12- Penilaian manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga mudah merendahkan orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari keadaan iman dan takwa dalam hati.
Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.

KISAH UWAIS AL-QORNI

Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah”[2]

Berikut ini kami menyampaikan sebuah hadits yang berkaitan dengan kisah Uwais Al-Qoroni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalah shahihnya[3]. Namun agar kisahnya lebih jelas dan gamblang maka dalam riwayat Imam Muslim ini kami menyelipkan riwayat-riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, Abu Ya’la dan Ibnul Mubarok dalam kedua musnad mereka.
Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob, jika datang kepadanya amdad dari negeri Yaman maka Umar bertanya mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit baros (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. ((Pada riwayat Abu Ya’la[5]: Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.” Umar berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya aka ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”)) Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!” ((Dalam suatu riwayat Al-Hakim[6] : “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”)), lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

((Dalam riwayat Al-Hakim[7] : Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qoroni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”))

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka[8] dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta” ((Dalam riwayat Ibnul Mubarok[9] : orang itu berkata “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais”)). Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Orang itu menjawab, “Iya”. ((Dalam riwayat Al-Hakim[10] : Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini, janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga)) Maka Uwaispun memohon ampunan bagi orang itu. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[11]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[12]
Salah seorang syaikh[1] pernah shalat di mesjid sebuah kampung yang terkenal dengan keberadaan sebagian para penuntut ilmu yang masyhur dengan keilmuan mereka. Seusai shalat syaikh tersebut menjumpai salah seorang jamaah shalat yang sudah berusia lanjut dan bertanya kepadanya tentang perihal para penuntut ilmu yang terkenal yang berasal dari  kampung tersebut. Namun apa kata orang tua itu: “Mereka bukan penuntut ilmu, mereka sering meninggalkan shalat berjamaah terutama shalat shubuh”. Serentak syaikh kaget dengan jawaban tersebut.

Fenomena yang seperti ini mungkin bukanlah hal yang asing bagi kita, apalagi di Jami’ah Islamiah ini kampus yang kita cintai bersama, kita dapati ada sebagian mahasiswa yang  kelak mereka akan menjadi da’i di negeri mereka sangat menyepelekan nilai shalat berjamaah terutama shalat shubuh. Jarang sekali mereka menampakkan batang hidungnya di mesjid untuk shalat shubuh.Sungguh sangat tercela jika seorang penuntut ilmu yang seharusnya menyeru masyarakat untuk semangat menunaikan shalat berjamaah, yang seharusnya memberi suri tauladan untuk shalat secara berjamaah malah kebiasaannya tidak shalat shubuh berjamaah. Wajar saja jika masyarakat tidak memenuhi dakwahnya karena mereka melihat praktek sang da’i yang menyepelekan shalat berjamaah.

Kalau kita buka lembaran-lembaran salaf tentang bagaimana semangat mereka untuk menunaikan ibadah shalat berjamaah maka kita akan menemui keajaiban…
Waqi’ bin Al-Jarrah berkata: “Al-A’masy (salah seorang muhaddits yang rabun matanya-pen) hampir tujuh puluh tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihram” (As-Siyar 6/232).
Berkata Muhammad bin Sama’ah: “Aku tinggal selama empat puluh tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihram kecuali satu hari tatkala ibuku meninggal. Maka aku terluput dari satu shalat jamaah…” (Tahdzibut Tahdzib 9/204)
Pada biografi Sa’id bin Al-Musayyib disebutkan bahwasanya tidaklah pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id telah berada di mesjid. (Tahdzibut Tahdzib 4/87)
Berkata Al-Qadhi Taqiyyuddin Sulaiman: “Aku sama sekali tidak pernah shalat wajib sendirian kecuali dua kali, seakan akan aku sama sekali belum shalat” (Dzail thabaqat Al-Hanabilah 2/365)
Bahkan lebih dari ini, para salaf menjadikan sifat menjaga shalat secara berjamaah dan mempraktekan shalat sesuai sunnah termasuk timbangan untuk menilai seseorang.
Berkata Ibrohim bin Yazid: “Jika engkau melihat seseorang menyepelekan (tidak perhatian) terhadap takbiratul ihram maka cucilah tanganmu darinya” (As-Siyar 5/62)
Berkata Syu’bah bin Al-Hajjaj: “Saya melihatnya –yaitu Yahya bin “Ubaidillah At-Taimi- shalatnya tidak bagus maka saya tinggalkan haditsnya” (Tahdzibut Tahdzib 11/253, Mizanul I’tidal 4/395)
Berkata Adz-Dzahabi –setelah membawakan dua isnad dari sebuah hadits yang teksnya sebagai berikut (dan pada dua isnad ini ada sisi lemahnya yang bersumber dari Zahir dan ‘Umar, karena mereka berdua shalatnya kurang bagus)-, kemudian Adz-Dzahabi berkata –dengan penuh tawadhu’-: “Kalau saya memiliki sifat wara’ maka saya tidak akan meriwayatkan (hadits) kepada orang yang sifatnya demikian” (As-Siar 10/317) 
Bagaimanapun juga bersegera untuk datang ke masjid untuk menunaikan shalat secara berjamaah akan memberi pengaruh yang kuat terhadap masyarakat. Karena memberi teladan dengan praktek terkadang lebih mengena dari pada dengan penjelasan yang mantap. Kalau kita tidak membiasakan diri untuk melawan ngantuk sehingga selalu shalat shubuh berjamaah sejak kita di Jami’ah tentunya tatkala kita sudah terjun di medan dakwah akan sulit kita praktekkan. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk bisa selalu shalat shubuh secara berjamaah. Amin.

[1] Syaikh Abdurrazaq mengatakan –setelah menyampaikan kisah ini-: “Seanda’inya para penuntut ilmu yang tidak shalat shubuh berjamaah itu ditanya tentang keutamaan shalat shubuh berjamaah, maka mungkin mereka akan mendatangjkan puluhan dalil yang menjelaskan akan hal itu. Namun walaupun hal ini tidak menjadikan mereka bisa shalat shubuh secara berjamaah. Adapun orang tua yang awam itu jika ditanya dalil tentang keutamaan shalat shubuh secara berjamaah mungkin saja dia tidak tahu sama sekali. Namun ketidaktahuannya ini tidaklah mencegah dia untuk shalat shubuh berjamaah”.
Sebagian orang tatkala berada dihadapan orang lain maka ia mampu dengan mudahnya meninggalkan kemaksiatan, bahkan ia mampu untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ia mampu melaksanakan itu semua meskipun ia berada di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tenggelam dalam lautan kemaksiatan. Ini adalah suatu kemuliaan karena ia bisa menghadapi ujian dengan baik sehingga terhindar dari kemaksiatan. Namun ingat sesungguhnya bukan ini ujian yang sebenarnya.


Allah telah melarang para hambanya untuk bermaksiat kepadanya baik secara terang-terangan atau tatkala ia bersendirian tatkala tidak ada orang lain yang melihatnya. Seseorang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan dihadapan khalayak tentunya berbeda dengan orang yang mencegah dirinya dari melakukan kemaksiatan tatkala ia bersendirian.

Sesungguhnya ujian yang hakiki adalah ujian yang dihadapi seorang hamba tatkala ia sedang bersendirian kemudian tersedia dihadapannya sarana dan prasarana serta kemudahan baginya untuk melakukan kemaksiatan, apakah ia mampu mencegah dirinya dari kemaksiatan tersebut??. Inilah ujian yang hakiki, ujian yang sangat berat, beruntunglah bagi mereka yang bisa selamat dari ujian ini.

Ketahuliah…, orang yang mampu menghindarkan dirinya dari kemaksiatan tatkala dihadapan orang lain namun ia terjerumus dalam kemaksiatan tatkala ia sedang bersendirian merupakan orang yang tercela.

Rasulullah salallah wa’alaihi wasallam pernah bersabda

لألفين أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة فيجعلها الله هباء منثورا فقالوا يا رسول الله صفهم لنا لكي لا نكون منهم ونحن لا نعلم فقال أما إنهم من إخوانكم ولكنهم أقوام إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها


“Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak seperti[1] bukit Tihamah kemudian Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan.” Maka mereka -sahabat- bertanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah ciri mereka kepada kami agar kami tidak termasuk golongan mereka dalam keadaan tidak sadar.” Maka beliau menjawab, “Adapun, mereka itu adalah saudara-saudara kalian, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang apabila bersepi-sepi dengan apa yang diharamkan Allah maka mereka pun menerjangnya.”

Allah telah menguji orang-orang yahudi dengan ikan,
Allah berfirman


}وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ| (لأعراف:163)


“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik”. (QS. 7:163)

Lihatlah…Allah memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk melakukan kemaksiatan. Namun mereka (orang-orang Yahudi) tersebut tidak sabar dengan ujian Allah padahal mereka yakin bahwa Allah mengawasi gerak-gerik mereka, oleh karena itu mereka tidak melanggar perintah Allah secara langsung tetapi mereka melakukan hilah yang akhirnya Allah merubah mereka menjadi kera-kera yang hina.

Allahpun telah menguji para sahabat Nabi, Allah berfirman

}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ| (المائدة:94)


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih” (Al-Maidah : 94)

Dari Muqotil bin Hayyan, bahwasanya ayat ini turun tatkala umroh Hudaibiyah, tatkala itu muncul banyak sekali zebra, burung, dan hewan-hewan buruan yang lain di tengah perjalanan para sahabat (yang sedang dalam keadaan berihram umroh), mereka tidak pernah menjumpai yang seperti ini sebelumnya, namun Allah melarang mereka untuk berburu hewan-hewan tersebut.[2] Sampai-sampai saking terlalu jinaknya hewan-hewan tersebut maka mereka bisa mengambil langsung hewan-hewan buruan yang kecil dengan tangan-tangan mereka, adapun hewan-hewan buruan yang besar maka mereka bisa dengan mudah menombaknya[3]

Dalam ayat ini | لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ } Allah menta’kid (menekankan) dengan sumpah[4] untuk menunjukan bahwa apa yang sedang mereka hadapi berupa jinaknya hewan-hewan buruan, tidaklah Allah menjadikan hewan-hewan tersebut jinak kecuali karena untuk menguji mereka.[5]

Adapun nakiroh pada kalimat | بِشَيْءٍ } menunjukan bahwa cobaan yang Allah turunkan pada mereka bukanlah cobaan yang sangat mengerikan yang menyebabkan terbunuhnya nyawa dan rusaknya harta benda, namun cobaan yang Allah berikan kepada para sahabat pada ayat ini adalah semisal cobaan yang Allah berikan kepada penduduk negeri Ailah (orang-orang yahudi) berupa ikan-ikan yang banyak mengapung di permukaan laut namun Allah melarang mereka untuk menangkapnya[6]. Dan faedah dari cobaan yang tergolong “ringan” ini adalah untuk mengingatkan mereka bahwa barangsiapa yang tidak bisa tegar menghadapi seperti cobaan ini maka bagaimana ia bisa tegar jika menghadapi cobaan yang sangat berat. Oleh karena itu huruf | مِنَ } dalam ayat ini | مِنَ الصَّيْدِ } ini jelas adalah bayaniah dan bukan tab’idhiyah.[7]

Jika seorang hamba merasakan bahwa dirinya dimudahkan untuk melakukan kemaksiatan, jalan-jalan menuju kemaksiatan terbuka lapang baginya maka ketahuilah bahwa ia sedang diuji oleh Allah…ingatlah bahwa Allah yang sedang mengujinya juga sedang mengawasinya, maka takutlah ia kepada Allah. Inilah ujian yang hakiki, dan Allah akan memberikan ganjaran yang besar baginya karena kekuatan imannya. Barangsiapa yang meninggalkan kemaksiatan padahal sangat mudah baginya untuk melakukannya maka ketahuilah bahwa itu adalah kabar gembira baginya karena hal itu merupakan indikasi imannya yang kuat. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dalam keadaan bersendirian maka ketahuliah bahwa imannya ternyata lemah, dan hendaknya ia takut kepada adzab yang Allah janjikan kepada orang-orang yang melanggar perintahNya.

Oleh karena itu di akhir ayat Allah berfirman | لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ }, inilah hikmah dari ujian yang Allah berikan kepada para sahabat yang sebagian mereka bisa saja mengambil hewan-hewan buruan tersebut dengan mudahnya baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dengan ujian ini akan nampak siapakah dari hamba-hamba Allah yang takut dan bertakwa kepada Allah baik secara terang-terangan maupun tatkala bersendirian.

Hal ini sebagaimana firman Allah

}إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ| (الملك:12(


“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”. (QS. 67:12)[8]

Ujian yang diberikan oleh Allah agar terbedakan hamba Allah yang karena keimanannya yang kuat maka takut kepada adzab Allah di akhirat yang meyakini bahwasanya Allah senantiasa mengawasinya meskipun ia tidak melihatNya, agar terbedakan dari hamba yang lemah imannya sehingga berani melanggar perintah Allah…[9], sehingga Allah memberinya ganjaran yang besar…adapun menampakan rasa takut kepada Allah dihadapan khalayak maka bisa jadi ia melakukannya karena takut kepada Allah maka ia tidak mendapatkan ganjaran…[10].

Penulis: Ustadz Firanda Andirja Abidin, Lc. -hafizhahullah-

____

Catatan Kaki

[1] HR Ibnu Majah II/1418 no 4245 dan At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Ash-Shogir I/396 no 662 (dan ini adalah lafalnya) dan Al-Mu’jam Al-Awshoth V/46 no 4632. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Sunan Ibnu Majah, dan As-Shahihah II/32 no 505

[2] Ad-Dur Al-Mantsur, karya As-Suyuthi (3/185)

[3] Tafsir Ibnu Katsir (2/98)

[4] Karena huruf lam dalam ayat ini adalh Al-Lam Al-Waqi’ah lijawabil qosam

[5] Tafsir Abi As-Sa’ud (3/78)

[6] Lihat juga Fathul Qodir (2/77), At-Tafsir Al-Kabir (12/71)

[7] Tafsir Abi As-Sa’ud (3/78), Tafsir As-Sa’di (1/244), karena jika kita mengatakan bahwa مِن dalam ayat ini adalah tab’idhyah (sebagaimana hal ini adalah pendapat yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/98)) maka sesuatu yang ringan yang difahami dari kalimat بِشَيْءٍ bukanlah jika dibandingkan dengan cobaan-cobaan yang berat namun jika dibandingkan dengan seluruh hewan

[8] Tafsir Ibnu Katsir (2/99)

[9] Tafsir Abi As-Saud (3/78)

[10] Tafsir As-Sa’di (1/244)